Jalan dan Bertumbuh: Melihat Perkembangan Anak Saat Traveling
Saat aku bilang traveling, please jangan mikir yang jauh-jauh. Karena aku cuma jalan-jalan ke Monas dan Stasiun Jakarta Kota, berdua dengan anakku. Hehe. Dan di sini aku lebih ingin menceritakan bagaimana aku melihat perkembangan anak saat traveling. Aku seperti tidak sengaja menemukan harta karun, ketika menyadari anakku sudah tumbuh sejauh ini.
Ceritanya dimulai saat suamiku pindah kantor ke daerah Jakarta Pusat, yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan Monumen Nasional atau Monas. Sejak itu, anakku selalu minta diajak jalan-jalan ke Jakarta Pusat. Karena di Jakarta Pusat ada Stasiun Gambir, dirinya berharap bisa lihat-lihat lokomotif di sana.
Aku nggak yakin apakah bisa lihat lokomotif di Stasiun Gambir, kalau bukan penumpang kereta jakak jauh. Karena setahu aku di stasiun ini KRL nggak berhenti. Jadi, aku mengajak dia ke Stasiun Jakarta Kota, yang cuma berjarak 4 stasiun dari kantor suami. Dari rumah kami naik mobil dan di-drop sama suamiku di Stasiun Juanda. Setelah itu lanjut naik KRL.
Ini pertama kalinya anakku ke Stasiun Jakarta Kota. Awalnya ia terlihat senang, seperti biasanya saat aku mengajaknya naik kereta commuter. Tiba di Stasiun Jakarta Kota, dia cukup kagum karena bangunannya sudah tua. Anakku ini memang suka banget dengan arsitektur bangunan tempo dulu. Lalu, tibalah saat yang mengejutkan. Ternyata di Stasiun Jakarta Kota ada kereta api jarak jauh. Aku juga baru tahu sih soal ini. Bukan, bukannya kami jadi ingin ke luar kota. Tapi, kereta ini menggunakan lokomotif. Anakku yang tadinya cukup senang di ajak jalan-jalan, berubah menjadi SENANG BANGET BANGET. He loves locomotif a lot!

Baca juga: Mindful Traveling
Perasaan yang Tidak Main-main
Sebenarnya kami pernah mengajaknya naik kereta ke Bandung, dari Stasiun Gambir. Tentunya di stasiun banyak sekali lokomotif datang silih berganti. Saat itu aku lihat dia sangat excited. Tapi, aku masih berpikir excitement-nya itu karena kami mau ke luar kota. Jadi aku kira dia sesenang itu ya karena bakal pergi jauh naik kereta.
Saat di Stasiun Jakarta Kota, aku baru sadar bahwa perasaan sukanya terhadap lokomotif, tidak main-main. Kalau digambarkan, mungkin sama seperti Buibu kalau lagi terkagum-kagum melihat benda-benda kesukaannya, misalnya alat masak kekinian, dapur estetik, keyboard laptop yang gemes-gemes, dan lain-lain. Pokoknya gituuu, anakku kesenengan.
Yang aku bingung, meskipun lokomotifnya masih jauh, dia kok tahu gitu loh itu lokomotif tipe apa. Jangankan dari bentuknya, bahkan dia bisa tahu jenis lokomotif dari suara sulingnya (suara dari lokomotif yang kencang banget seperti suara klakson). Kok bisa, sih? Katanya, “Tahu dari Youtube.” Aku memang mengamati konten apa yang ia tonton di Youtube, tapi benar-benar nggak nyangka bisa sampai sehafal itu dengan suara suling lokomotif.
Aku minta izin kepada petugas di stasiun, agar anakku bisa berfoto dengan lokomotif. Terharu akuuu. Lokomotif yang biasanya dia gambar-gambar di kertas, sekarang berada dekat sekali.


Perkembangan Anak Saat Traveling dari Sisi Kemandirian
Hal lain yang aku lihat dari anakku adalah sisi kemandiriannya. Repotnya Buibu kalau pergi sama anak cowok itu saat anak harus berpisah ketika ke toilet atau sholat. Aku udah nggak bisa bawa dia ke toilet cewek lagi, karena sudah besar. Akhirnya beberapa kali kami pergi berdua tuh sekalian dia belajar ke toilet sendiri. Sebenarnya aku waswas, tapi nggak ada cara lain. Jadi aku selalu nunggu dia di depan toilet dan berpesan untuk buang air kecilnya di toilet yang tertutup, bukan di kloset yang berdiri itu.
Di kesempatan lainnya kami ke Monas dan sudah waktunya sholat zuhur. Kami memilih sholat di area Museum bawah tanah, karena cuaca di luar panas banget. Di museum ini tempat sholat pria dan wanita terpisah jauh. Anakku nggak mau berpisah denganku. Akhirnya aku tunggu sampai dia selesai sholat, baru kemudian bergantian dia yang menunggu aku di tempat sholat wanita. Selesai aku berwudhu, anakku minta izin untuk melihat-lihat sekitar. Aku make sure bahwa dia nggak takut jalan-jalan sendirian dan minta agar perginya jangan jauh-jauh.
Baca juga: Melihat Monas dari Dekat
Setelah sholat dan melipat mukena, mataku mencari-cari di mana anakku berada. Penasaran dengan apa yang sedang dilihatnya. Oh, ternyata sedang duduk di lantai, sambil memakan pizza yang kami bawa dari rumah. Hatiku terenyuh, karena biasanya dia nggak ada inisiatif untuk makan duluan. “Hammam lapar, Mih. Jadi Hammam makan pizza-nya.” Haha, okeee nggak apa-apa.

Bersenang-senang
Meskipun setiap kali trip kami nggak bisa lama-lama, tapi aku bisa lihat anakku sangat bersenang-senang dengan waktu yang ia miliki. Bersenang-senang dengan angin kencang yang bertiup di cawan Monas, suara-suara suling kereta di stasiun, kendaraan-kendaraan yang ia lihat di sepanjang jalan, dan banyak lagi. Ia juga mau mencoba hal baru, yaitu memotret dengan kameraku.

Aku senang melihatnya menikmati perjalanan kami. Walau singkat, walau macet, walau panas. Apalagi ketika kami bermain-main di Kota Tua. Sebagai pecinta bangunan klasik, anakku sungguh merasa dimanjakan dengan berbagai bangunan bergaya kolonial di area tersebut. “Seperti berada di masa lalu”, katanya.

Terima kasih, anakku. Kamu tumbuh dengan baik.
Setelah bersenang-senang berdua, kami pulang di sore hari. Kadang janjian dengan suamiku untuk pulang bareng. Suatu kali kami pernah nyamper suamiku di kantornya dan menunggu sampai dia selesai kerja. Pernah juga janjian ketemuan di stasiun Juanda, kalau suamiku sedang tidak bawa kendaraan. Saat seperti ini, aku suka banget melihat pertemuan antara anakku dengan papinya. Anakku berlari dengan antusias demi bisa segera dekat dengan papi. Aku juga sebenarnya senang bangettt, mungkin lebih senang dari anakku, deh. Hahaha. Alhamdulillah, meskipun suamiku nggak bisa ikutan liburan, tapi di akhir hari kami bisa berkumpul kembali dan pulang bersama.
Sekian ceritaku kali ini. Next, jalan-jalan ke mana lagi, ya, yang seru? Any idea?