fbpx
Travel & Culinary

Rezeki Penjual Ikan dan Cerita dari Sudut Komplek

Rezeki penjual ikan, mungkin terdengar seperti judul dongeng. Tapi nggak, ini bukan dongeng, kok. Ini hanya cerita kegiatanku di hari Minggu. Malam sebelumnya kami jajan dimsum dan nggak makan nasi, akibatnya nasi dingin pun banyak tersisa. Aku ingin membuat nasi goreng untuk sarapan, tapi aku kehabisan bawang merah dan telur. Akhirnya, Minggu pagi yang rencananya kupakai untuk bersantai, mengalami perubahan. Aku keluar bersama anakku, menuju penjual sayur yang jaraknya sekitar 400 meter dari rumah kami.

“Ada roti bakar, tuh!” kata anakku. Matanya tertuju pada sebuah gerobak kecil berwarna biru yang berada tidak jauh dari warung sayuran, terletak di antara warung kelontong dan penjual ikan. “Mau roti bakar?” aku menawarkan. Anakku nggak pernah menolak kalau ditawarkan makanan yang satu ini. Kami hampiri gerobak roti bakar dan memesan rasa cokelat. Aku meminta anakku untuk menunggu rotinya, sementara aku belanja sayuran. Sebelum aku selesai belanja, anakku sudah selesai duluan pesanan rotinya, jadi dia menyusul ke warung sayur. Beruntung, hari ini ada ikan teri, kesukaan anakku. Sekalian aku beli.

Setelah membayar semua belanjaanku, kami keluar dari warung dan mencari warung lainnya yang menjual telur. Dari jauh kulihat penjual telur langgananku sudah buka. Kuajak anakku ke sana. Tiba-tiba…

“Halo…” sapa seseorang. Suaranya seperti familiar. Aku menoleh ke kanan, ke tempat penjual ikan. “Masih ada, nih!” kata orang tersebut, sambil menunjukkan beberapa ekor udang yang diraupnya dari baskom. Aku yang memang tidak ada rencana untuk membeli udang, menolaknya dengan baik. “Nggak dulu, Bang. Besok mungkin, ya. Insya Allah.” jawabku. “Iya, dah.” sahutnya kemudian, dengan nada ramah seperti interaksi kami biasanya.

Aku melanjutkan langkah ke penjual telur, berjalan bersisian dengan anakku. Saat aku menggandeng tangannya, aku teringat sesuatu. “Oh, ya. Apa mami beli aja ya udangnya? Buat besok bekal sekolah.” awalnya anakku nggak mau, katanya “Nggak mau kalau bekalnya udang.” Tapi aku bilang kalau udang kan sehat. Masaknya juga paling gampang, jadi besok pagi mami nggak terlalu repot. Haha. Akhirnya anakku setuju juga. “Oke, setelah beli telur kita balik ke penjual ikan, ya. Semoga aja masih ada.”

Aku beli telur dulu sebanyak 1 kg. Tapi saat itu penjualnya lagi nggak ada karena sedang mengantar pesanan. Aku dibantu sama bapak pemilik bengkel sepeda yang bersebelahan dengan penjual telur. Katanya harga telur hari itu Rp29.000. Aku pilih sendiri telurnya, aku timbang dan foto. Kukirim fotonya ke penjual telur yang juga sudah langganan. “Bang, saya beli telur 1 kg”, isi pesanku kepadanya, disertai dengan bukti transfer ke rekeningnya. Alhamdulillah meskipun penjual nggak di tempat, tapi transaksi tetap berjalan.

Kembali ke penjual ikan, ternyata udangnya masih ada. Alhamdulillah memang rezeki untukku kayaknya, ya. Aku nggak milih-milih lagi, karena udangnya sudah tinggal yang di baskom itu aja. Tapi mau diambil semua juga kayak kebanyakan, haha. “Udah ambil semua bae.” kata abangnya dengan nada dan logat Betawinya yang khas. “Yah, berapa tuh kalau semuanya?” aku khawatirnya uangku nggak cukup aja, sih. Soalnya itu sudah menjelang akhir bulan haha. Setelah ditimbang beratnya 800 gram lebih, harganya sekitar Rp78.000. “Udah bayar 60 ribu bae, dah.” Wah, aku dikasih diskon, gaes! “Yang bener nih, Bang?” tanyaku memastikan. “Lah, iya sama langganan. Kan yang dikasih diskon mah langganan doang.” gitu katanya 🥹🥹. Aku langsung transfer dengan kondisi baterai hapeku yang tinggal 4 persen. Hehe.

Selesai belanja, aku dan anakku berjalan pulang. Hatiku senang—dapat udang segar dengan diskon yang nggak main-main.

Sebenarnya, beli sayur, udang, atau telur di komplekku ini bisa lewat layanan delivery. Tapi rasanya beda kalau berinteraksi langsung dengan penjual. Mungkin juga, kalau lewat delivery, aku nggak akan dapat diskon sebanyak itu, ya.

Sampai rumah, aku langsung membersihkan udang dan membaginya ke beberapa wadah, sesuai porsi makan anakku. Sambil membersihkan, aku jadi mikir. Seandainya abang penjual ikan tadi nggak menawarkan udang, kayaknya aku nggak akan beli, deh. Padahal, saat itu lapaknya sudah ramai, dagangannya pun tinggal sedikit. Tapi dia tetap aktif menawarkan—dengan cara yang sopan dan menyenangkan. Dan aku, yang awalnya nggak niat, malah jadi beli. Cara berjualannya memang bikin orang nyaman: proaktif, percaya diri, dan tetap ramah. Apalagi dengan diskon itu, seolah dia tahu aku bakal balik lagi kalau diberi harga yang bersahabat.

Lalu aku melihat diriku, apakah aku sudah melakukan usaha yang terbaik dalam hidupku? Ternyata, usaha sekecil apa pun, tetap ada hasilnya. Pagi itu mengajarkanku: dalam bekerja, lakukan saja yang terbaik. Entah kita ibu rumah tangga, ibu bekerja, penjual sayur, atau penjual ikan—kita nggak pernah tahu, usaha mana yang akan membuka pintu rezeki hari itu.

Dan yang paling menginspirasi bagiku: si abang penjual udang. Dia nggak menunggu pembeli datang. Dia menyapa duluan, menawarkan dengan ramah, dan menunjukkan dagangannya dengan percaya diri. Sebuah kombinasi sikap yang aku rasa memiliki kekuatan untuk mendatangkan rezeki.

Dan ya, rezeki itu bukan selalu soal uang. Rezeki bisa datang dalam bentuk kesehatan, keselamatan, anak yang baik, tetangga yang ramah, penjual yang murah hati—dan banyak bentuk lainnya yang tak terduga

Author

dzul_rahmat@yahoo.com
Mindful Parenting Blogger || dzul.rahmat@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *