Aku, Ibuku dan Warisan yang Ditinggalkannya
Kemarin aku sakit. Tubuhku panas, aku lemas tak semangat melakukan apa pun. Alhamdulillah, anakku libur karena sorenya mau ada buka puasa bersama di sekolah. Jadi sejak pagi dia menemani dan menjagaku. Sehabis anakku mandi, aku pegang tangannya yang sangat dingin dan kutempelkan pada tanganku. “Coba dong, tempelin di pipi mami.” Sejuk sekali. Tunggu, rasa sejuk ini rasanya tidak asing. Saat aku pindahkan telapak tangannya ke dahiku, barulah aku sadar bahwa dulu aku pernah merasakan kesejukan ini.
Anakku tertawa renyah melihat tingkahku. “Sudah cukup. Terima kasih…” kataku. Lalu anakku pergi ke kamarnya. Aku termenung dan menitikkan air mata. Itulah kesejukan yang pernah aku rasakan dari tangan ibuku. Dulu, setiap kali demam aku nggak butuh kompres yang macam-macam. Cukup tangan ibuku saja, yang entah mengapa selalu sangat sejuk di kulitku.
Aku jadi melow.
Pesan Terakhir Ibuku
Malam ini tanggal 18 Ramadhan. Empat tahun yang lalu, di jam segini aku belum tahu bahwa itulah hari terakhir aku bisa merawat Ibuku yang sedang sakit. Sejak pagi aku dan kakakku bergantian membersihkan tubuhnya, mengganti popok, pakaian dan kainnya, menyuapi dan menemaninya. Sampai akhirnya aku pamit untuk tidur di kamarku.
Saat itu Ibuku sudah sudah tidak bisa berbicara lagi. Padahal sekitar seminggu sebelumnya Ibu masih bisa berpesan agar aku mencuci kainnya. Aku pernah menulisnya di sini : “Ma, Kain Mama Sudah Saya Cuci”. Tapi itu bukan pesan terakhir dari Ibu.
Aku menangkap pesan terakhir yang sesungguhnya, justru ketika Ibuku sudah tidak dapat bicara. Ia mengatakan dengan sentuhan dan air matanya. Saat itu aku sedang tadarus di sebelahnya. Berharap Ibu akan senang mendengar lantunan ayat-ayat suci. Tapi Ibuku malah menangis sambil memegangi Al-Qur’an yang sedang kubaca.
Aku merasakan kerinduan Ibu terhadap Al-Qur’an. Dulu beliau selalu membacanya setiap hari, di setiap waktu yang sengaja ia luang-luangkan di tengah kesibukannya, dan di setiap sepertiga malam. Sejak Ibu tidak lagi bisa bicara, aku sangat kehilangan dan berdo’a agar bisa mendengar suaranya lagi walau hanya sekali. Mungkin seperti itu juga perasaan Ibu yang ingin bisa membaca Al-Qur’an lagi walau hanya satu ayat.
Dalam beberapa saat, aku menangis bersamanya. Ibu terus saja memegangi Al-Qur’an yang ada di tanganku. Saat itu aku menangkap sesuatu, yaitu pesan terakhirnya. Aku merasakan Ibu berpesan, “Jangan pernah meniggalkan Al-Qur’an”.
Masya Allah, apakah waktu yang kumiliki bersama Ibuku akan segera berakhir?
Warisan dari Ibu
Ibuku adalah orang yang paling gigih dalam menyuruhku belajar mengaji. Waktu aku kecil, beliau bilang, “Anak muslim harus bisa baca Qur’an.” Setelah aku beranjak besar, katanya, “Qur’an itu harus dibaca. Kalau nggak, nanti lupa!” (maksudnya lupa cara bacanya). Dan Ibu nggak pernah berhenti menyuruhku, bahkan sampai aku dewasa dan menikah. Katanya, “Biarpun sudah berumah tangga, harus tetap ngaji.”
Kalau cuma disuruh baca Qur’an sih masih oke, ya. Aku bisa baca di rumah (kadang-kadang sih, keseringan nggaknya huhu). Tapi untuk tetap mengaji setelah menikah? Beneran, deh, itu hal yang sangat sulit buatku. Aku disuruh ikut pengajian Ibu-ibu di Majelis Ta’lim. Aku tuh pemaluuuu, nggak berani ketemu banyak orang gitu, lho. Pasti aku grogi, salah tingkah dan stress. Tapi, akhirnya aku nurut juga, sih.
Awalnya, jujur saja aku mager. Takut dibilang “Tumben ngaji.” Tapi, siapa sangka jama’ah majelis ta’lim yang rata-rata masih saudaraku itu, menyambutku dengan gembira. Ternyata aku adalah murid paling muda. Katanya mereka senang, ada generasi muda yang kelak mungkin bisa menggantikan yang tua-tua. Alhamdulillah, perjalanan hatiku dipermudah sejak hari itu.
Yang aku tidak tahu, semangat Ibu menyuruhku terus belajar dan rajin-rajin membaca Al-Qur’an adalah warisan yang sangat bernilai. Warisan yang baru bisa aku sadari dan rasakan sekarang-sekarang ini, ketika salah satu guru mengajiku bilang, “Bacalah Al-Qur’an dengan baik dan benar. Karena sewaktu-waktu kita pasti perlu menghadiahkan bacaan Al-Qur’an, setidaknya surat Al-Fatihah, kepada orang tua, keluarga atau siapa pun yang telah wafat. Menghadiahkan, hendaklah sesuatu yang kualitasnya baik. Maka perbaikilah kualitas bacaan Al-Qur’an, agar layak dijadikan hadiah.”
Masya Allah, insightful sekali.
Sejak guruku mengatakan itu, rasa syukurku semakin bertambah. Alhamdulillah, aku punya Ibu yang sangat mencintai Al-Qur’an. Aku bersyukur Ibuku tak henti-hentinya menyuruhku belajar. Dan saat hidupku terasa sulit, aku mengingat ini, “Aku adalah orang yang beruntung. Atas izin Allah Yang Maha Pengasih, aku, ibuku dan Al-Qur’an bisa saling terhubung.”
Salah satu amalan yang tidak terputus meskipun seseorang telah meninggal dunia, adalah do’a anak yang shaleh. Aku ingin menjadi anak itu, agar do’aku bisa sampai kepada Ibuku. Insya Allah.
Ma, semoga di alam kubur Mama berkelimpahan rahmatNya, yang menyinari tempat mama hingga terang benderang seperti yang Mama inginkan. Semoga Mama bahagia di sana. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri, menjadi anak yang shaliha agar do’aku bisa sampai kepadamu. Insya Allah, aku akan menjalani hidupku dengan baik. Terima kasih ya, Ma, sudah mewariskan padaku ilmu yang bermanfaat. Sampai jumpa, Mama…