fbpx
manfaat ilmu parenting
Family & Parenting

Aku Anak yang Berharga

Ibu jariku pernah terluka saat berkebun beberapa bulan yang lalu. Padahal aku sudah memakai sarung tangan, tapi tetap saja lecet akibat terlalu lama menggunting rumput, tak terhindarkan. Selain kulit yang mengelupas, jempolku pun bergetar. Mungkin karena aku terlalu bersemangat dan menggunting terlalu lama, hingga otot jariku kelelahan.  “Oh, jempolku yang berharga…” gumamku sedih, sambil mengobatinya dengan Betadine.

Anakku yang sangat setia menemani, bertanya padaku. “Memangnya kenapa jempol mami berharga?” Aku tergelak, lalu mulai menjelaskan. “Karena dengan jempol yang sehat, mami bisa melakukan banyak aktivitas dengan baik. Apalagi mami suka menulis, mengetik di laptop. Dan bukan hanya jempol mami saja yang berharga. Semua yang ada pada diri mami, berharga. Karena ini ciptaan Allah.”

Aku berharap apa yang kusampaikan ini bisa menjadi value. Tapi aku tidak tahu kalau perbincangan kali itu cukup berkesan baginya. 

Berbulan-bulan kemudian, ada momen dia sedih karena perkataan teman sekelasnya. Temannya berkata “Kamu tuh beban” karena kelompoknya tidak menang dalam game di pelajaran PPKn. Mungkin temannya menganggap, ketidakcakapan anakku menjadi penyebab kekalahan mereka. Hiks, bukan dia saja. Aku pun merasa sedih dan terluka mendengarnya. 

Setelah kejadian itu anakku jadi tidak semangat ke sekolah. Segala drama pun terjadi tak kenal waktu, meski aku selalu berusaha membesarkan hatinya. Aku katakan, “Bagaimana pun keadaanmu, mami tetap sayang. Kamu tetap anak mami yang berharga.”

Minggu ini adalah jadwal pembagian rapor tengah smester. Ada satu mata pelajaran yang anakku kurang menguasai sehingga mendapatkan nilai yang pas-pasan di rapor. Aku tidak mempermasalahkannya, karena di mata pelajaran lain nilainya baik. Anakku menyadari kekurangannya itu dan alhamdulillah mau menerima nilai yang didapatkannya serta bertekad akan belajar lebih giat. Masya Allah, aku terharu dibuatnya. 

Kemarin sepulang sekolah, saat kami beristirahat di bawah hembusan udara dingin dari AC di kamarnya, sambil cerita-cerita tentang kegiatan hari itu (kegiatannya dan kegiatanku), anakku menanyakan sesuatu yang di luar dugaan.

“Mih, waktu nilaiku ada yang jelek, kok mami nggak pukul aku?”

“Hah???” Aku berusaha memperlihatkan wajah kagetku. Aku ingin menunjukkan bahwa pertanyaannya sungguh membuatku terkejut. Tahu dari mana dia soal ini? Sebuah konsep yang tidak pernah diterapkan di keluarga kami. Ternyata, katanya dia lihat di youtube, ada video animasi dengan adegan demikian. Ugh, rasanya mau langsung aku laporkan video tersebut sebagai konten yang berbahaya.

“Untuk apa memukul? Apakah nilaimu akan berubah jadi bagus kalau mami memukulmu?” dia tertawa menanggapiku. Mungkin dalam pikirannya ia merasa “benar juga, ya.”

Lalu, aku tatap matanya dan mengatakan, “Kamu memang dilahirkan oleh mami. Tapi yang menciptakanmu bukan mami, melainkan Allah. Apa iya, mami boleh memukul ciptaan Allah?”

“Nggak.” jawabnya.

“Mami tidak boleh memukulmu, karena kamu ciptaan dan milik Allah. Mami hanya boleh memukul kalau kamu tidak mau shalat.” lanjutku. 

“Aku anak yang berharga, ya?” sahutnya lagi. Masya Allah, dia masih mengingat obrolan kami yang sudah lalu. Masih ingat bahwa bagaimana pun keadaannya, dia tetaplah anakku yang berharga. Seketika ada rasa hangat merambati hatiku. Obrolan kali itu pun kami tutup dengan berpelukan. Sebuah bahasa kasih yang konon dapat menciptakan rasa aman dan rasa dihargai. 

Oh ya, maksud perkataanku, bolehnya orang tua memukul anak yang tidak mau shalat berdasarkan hadits ini, ya, “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika usianya 7 tahun. Dan pukullah mereka ketika usianya 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud). Itu pun bukan memukul karena emosi semata. Melainkan memukul dengan tujuan mendidik dan menjadi jalan paliiiing akhir. Apabila anak sudah bisa diminta shalat dengan cara yang lembut atau cara lain yang lebih baik, maka hukumnya tidak boleh memukul anak. Insya Allah anak-anak kita adalah anak sholeh/sholeha yang bertanggung jawab atas kewajibannya sebagai muslim/muslimah.

Kembali ke topik, ya. Jangan lupa sampaikan kepada anak bahwa dirinya berharga. Bagiku, ini adalah gerakan kecil tapi berdampak sangat besar. Setidaknya anak jadi memiliki pondasi tentang dirinya dan tidak mudah terbawa pengaruh negatif dari lingkungannya. 

Rumah adalah tempat anak pertama kali merasa dihargai dan mengenal harga dirinya. Sehingga jika dari rumah saja sudah tidak dianggap berharga, maka akan ke mana anak pergi mencarinya?

Author

dzul_rahmat@yahoo.com
Mindful Parenting Blogger || dzul.rahmat@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *