fbpx
belajar dari kehilangan
Family & Parenting

Bagaimana Anak Usia 9 Tahun Bisa Belajar dari Kehilangan

Ternyata, kita memang bisa belajar dari kehilangan. Ini adalah kisah anakku yang kehilangan miliknya yang berharga. Saat itu terjadi, rasa sedih yang ia pancarkan, sampai menembus relung hatiku. Ketika anak sedih, biasanya ibu jadi ikutan sedih kan, ya. Hiks.

Aku ingat betul, bagaimana ekspresi anakku ketika aku membelikannya satu set lampu sepeda. Sudah lama sekali dia menantikan hadiah ini. Paket yang kupesan di marketplace itu sempat tertunda kedatangannya karena terhambat di ekspedisi. Setelah bersabar menunggu beberapa hari, akhirnya suatu sore paketnya tiba.

“Bisa dipasangin sekarang, nggak?” Anakku meminta dengan ekspresi menggemaskan. Heran aku tuh, anak 9 tahun kok masih gemes aja, yaaa? Tak sanggup aku menolaknya. Setelah sholat maghrib, aku langsung ke garasi untuk memasangkan lampu di sepedanya. Lampu itu sebenarnya biasa saja, harganya pun tidak mahal. Tapi anakku senang sekali. Baginya, lampu itu sangatlah berharga.

belajar dari kehilangan

Tapi rupanya kebahagiaan ini tak berlangsung lama. Dua hari sejak terpasang, lampunya hilang. Aku masih ingat hari itu lampnya masih terpasang dengan baik di stang sepeda, saat anakku hendak mengendarainya untuk pergi mengaji. Pulang-pulang, lampunya raib sudah. Aku mungkin akan mengira lampu itu jatuh entah di mana, seandainya yang hilang hanya lampunya saja. Tapi, ini tuh hilang sama bracket-nya, yang mana bracket terpasang menggunakan baut. Bahkan dirinya sendiri masih ingat, lampu itu masih ada ketika ia parkir di depan masjid. Aku kan jadi berprasangka buruk, “Jangan-jangan ada yang ngambil, nih.”

Anakku sedih. Sedih sekali. 

Untuk membuatnya tenang, aku kembali bersamanya ke masjid tempatnya mengaji, untuk mencari lampu itu. Siapa tahu terjatuh. Kami menyusuri seluruh pekarangan masjid, tapi tak ketemu. Aku bertanya kepada anak-anak dan orang dewasa yang berada di sekitar situ, tak ada yang melihat lampu sepeda anakku.

Setelah itu, akulah yang merasa sedih. Merasa bersalah, “Harusnya tak kuizinkan anakku pergi dengan lampu yang terpasang. Harusnya aku lebih bisa memprediksi hal ini. Harusnya aku bisa mencegah ini terjadi.” Dan seterusnya. Ini cuma perkara lampu sepeda seharga 30 ribu aja lho, ya. Tapi sedihnya luar biasa. Karena bukan aku saja yang merasa bersalah. Anakku pun sibuk menyalahkan dirinya sendiri. Kadang dia menyalahkan aku juga. Stress banget lah aku dibuatnya.

Tapi, siapa sangka. Kejadian ini sungguh memberikan banyak hikmah untuk kami.

Semua Ini Hanya Titipan

“Apa yang kita miliki, semuanya adalah rezeki dari Allah. Kalau pada akhirnya itu hilang, mungkin artinya memang bukan rezeki kita.” Aku mulai mengeluarkan jurus pertama. Dia masih kesal. 

“Semua yang kita punya sebenarnya hanya titipan. Allah menitipkannya pada kita. Jika Allah berkehendak, Dia bisa mengambilnya lagi kapan saja.” kataku melanjutkan. Lalu aku tak menyangka anakku bilang gini…

“Jadi semua ini cuma titipan, ya? Tapi kenapa Allah nitipnya cuma 2 hari, Mih?” 😂 aku harus jawab apa, yaaaa???

Selanjutnya, aku mengulang-ulang pelajaran hari itu sampai beberapa hari ke depan. Bahwa apa yang Allah titipkan pada kita, harus kita jaga baik-baik. Jangan sampai rusak, jangan sampai hilang. Kalau sudah dijaga masih juga hilang, ya berarti bukan rezeki kita. Mungkin itu sudah takdir.

Kayaknya anakku agak mengerti. Tapi kadang masih suka lupa. LOL.

belajar dari kehilangan

Kalau bukan karena kejadian ini, mungkin sampai sekarang aku belum sempat menjelaskan konsep rezeki pada anakku. Atau bahkan diriku sendiri justru belum bisa memaknai rezeki itu sendiri. Kalau bukan karena kejadian ini, mungkin aku juga belum belajar dari kehilangan.

Sabar dan Ikhlas

Hari berlalu, minggu berganti. Tapi anakku masih belum bisa move on. Setiap hari ada saja celahnya untuk dia bisa membahas si lampu yang hilang itu. Kelihatannya dia menyesal karena tidak menjaga lampunya dengan baik.

Ya ampun, apakah anak kelas 3 SD memang sudah seharusnya diajarkan tentang ikhlas, yaa? Aku waktu seumur dia (9 tahun) belum ngerti apa itu ikhlas. Haha. Cuma sering dengar Ibu atau kakakku bilang “Ya udah, ikhlasin aja.” Tapi aku tak paham maksudnya gimana. 

Ini sebenarnya masih menjadi PR buatku, karena aku sendiri, ya, tidak se-sabar itu. Pelajaran ikhlas juga aku belum lulus kayaknya. Haha. Jadi, kepada anakku aku hanya bisa bilang “Allah sayang sama orang yang sabar dan ikhlas. Semoga nanti Allah ganti dengan lampu yang lebih bagus.” Ini adalah jurus keduaku. Jurus yang nampaknya belum berpengaruh apa-apa pada anakku. Hiks.

Ini Bukan Salahmu

Berhari-hari uring-uringan, yang paling nyebelin itu kalau dia sudah mulai menyalahkan aku. Seperti, “Harusnya mami nggak biarin aku bawa lampu itu.” Lhaaaa, kan aku jadi gimana gitu, yaaa. Huhu.

Lalu, aku teringat salah satu cerita yang ada di drama Korea favoritku. Judulnya “While You Were Sleeping” yang diperankan oleh Bae Suzy dan Lee Jong Suk. Di drama ini kan Nam Hong Joo selalu menyalahkan dirinya sendiri, atas apa yang terjadi pada ayahnya belasan tahun silam. Dia merasa seharusnya dulu bisa menyelamatkan ayahnya gitu, lho. Ada satu titik di mana dia akhirnya merasa “Oh, ternyata ini bukanlah salahku.”

Cuss, aku terapkan juga ini pada anakku.

“Ini bukan salahmu, bukan juga salah Mami. Yang salah adalah orang yang mengambil lampu itu.” Aku mengatakannya sambil mendudukkan ia di pangkuanku, sambil kuelus-elus punggungnya lalu aku peluk.

Sejak saat itu, anakku sudah tidak lagi merajuk soal lampunya yang hilang. Dia masih ingat dengan kejadian itu, tapi sudah nggak marah-marah lagi setiap membahasnya. Alhamdulillah, jurus ketiga ini lumayan berhasil.

belajar dari kehilangan

Aku bersyukur karena kejadian yang terlihat sepele ini kami bisa belajar dari kehilangan. Namanya hidup, ya, kita pasti akan melewati masa-masa seperti ini. Aku anggap ini adalah latihan, agar ke depannya kami bisa menghadapi setiap masalah dengan lebih bijak.

Cuma, yang masih mengganjal di hatiku adalah perkataanku yang ini, “Yang salah adalah orang yang mengambil lampu itu.” dengan kalimat ini sepertinya aku belum mengajarkan pada anakku tentang berprasangka baik. Aku takutnya nanti anakku jadi senang melimpahkan kesalahan pada orang lain.

Menurut kalian, gimana? Apakah aku harus meluruskannya?

Author

dzul_rahmat@yahoo.com
Mindful Parenting Blogger || dzul.rahmat@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *