fbpx
Family & Parenting

Makna Lebaran yang Saya Rasakan di Tahun Ini

Libur lebaran berakhir sudah, waktunya kembali ke rutinitas seperti biasa. Saya masih keenakan leyeh-leyeh, nih. Sambil menunggu saatnya anak masuk sekolah bulan depan. Nggak terasa, momen setahun sekali berlalu begitu saja. Tapi di tahun ini ada makna baru yang mengisi hati saya. Yaitu makna lebaran yang enggak seperti biasanya.

Sejujurnya setiap menjelang lebaran saya merasa agak tertekan, haha. Karena apa? Mau lebaran itu semua harus serba rapi dan bersih, gengs. Maklum ya, tinggal di rumah orang tua dan saat ini kami nggak ada asisten ruma tangga. Setiap sudut rumah dari depan, belakang, samping, harus lebih kinclong dari biasanya. Bahkan gudang pun dibersihkan. Alhamdulillah punya rumah yang enggak ada cerobong asap, gimana bersihinnya cobaaaa??

Sejak beberapa tahun ini sih kami sudah enggak masak ketupat lagi di rumah, melainkan pesan sama tetangga. Dulu pun kalau bikin pasti Ibu saya yang repot sendiri, karena saya nggak bisa menganyam ketupat. Haha. Tapi saya kebagian repot bantuin masak sayurnya. Iya, bantuin doang kan saya pun nggak bisa masak (ya ampun ini hidupnya kurang berguna banget). Jadi ya mungkin saya tertekannya kok sampai sekarang saya nggak jago-jago gitu dalam hal masak, LOL.

Next, saya belum pernah bikin hantaran lebaran untuk saudara-saudara. Kata Ibu soalnya saya masih tinggal di rumah beliau yang notabene disamperin sama seluruh saudara karena Ibu adalah anak pertama. Kakak sama keponakan saya juga bilang begitu. Tapi saya rasanya nggak enak deh, apalagi ada keponakan yang selalu menyiapkan hantaran buat saya. Loh, kalau kita melihat pasal sebelumnya, harusnya mereka juga nggak perlu ngasih saya dong. Kenapa mereka terlalu baik sama saya? Apakah saya sungguh tante kesayangan? :P

Meski ada rasa tertekan tapi lebaran itu selalu spesial, kok. Saya paling suka kalau lebaran itu kumpul sama keluarga besar (kakak, ipar, keponakan). Soalnya ya kami dari kecil memang sudah akrab karena tumbuh bersama, tapi makin gede jadi makin jarang ketemu karena sibuk lah dengan urusan masing-masing. Momen lebaran menjadi yang saya tunggu banget, walaupun kami kumpulnya juga nggak bisa lama-lama dan merasa langsung kesepian begitu pestanya bubar.

Makna Lebaran Tahun Ini

Kami nggak menjalankan tradisi mudik karena kampungnya memang di sini sejak lahir. Selain bersih-bersih rumah dan bikin ketupat, yang khas dari lebaran di keluarga saya adalah : baju baru, masak daging, bagi-bagi THR buat keponakan dan cucu, foto bareng dan jalan-jalan ke puncak.

Nothing is Perfect

Nggak tahu apakah karena terlalu lelah, terlalu malas atau terlalu pusing mana dulu yang mau dibereskan, akhirnya tradisi bersih-bersih rumah memasuki fase ‘nothing is perfect’. Sehingga saya punya alasan untuk memilih agak santai dikit dan nggak perlu kejar target. Kalau dulu setiap sudut harus bebas debu, cuci semua gordyn, vacuum setiap sudut jendela, dan yang paling melelahkan adalah beresin gudang.

Sehari sebelum lebaran pasti saya sibuk ngepel supaya besok paginya lantai masih terasa bersih. Sementara itu penghuni rumah pasti juga lagi sibuk sama aktivitas masing-masing dan harus mondar-mandir, jadi kerjaan saya nggak pernah beres. Hahahaha.

Di tahun ini, saya cuma bersih-bersih semampunya dan berkata menghibur diri “ya sudahlaaah”.

Masak Secukupnya

Ibu saya selalu masak semur untuk lebaran minimal sekilo daging sapi. Padahal setiap lebaran saya jarang banget makan daging, keburu begah duluan lihat jumlahnya yang nggak kira-kira. Bilangnya sih buat dimakan bareng pas kumpul hari lebaran, “daripada kurang” katanya. Memang nggak pernah kurang, sih. Tapi selalu banyak lebihnya.

Mungkin ada baiknya masak secukupnya saja, ya. Atau kalau nggak, keluarga saya yang harus makan lebih banyak. Gitu.

Berharganya Momen Kumpul Bareng

Suasana lebaran terasa berbeda sejak kepergian kakak saya 2 tahun yang lalu. Kadar kehebohan agak berkurang, karena suaminya udah nggak se-ceria dulu. Dan sejak kakak tiada, nggak ada lagi yang ngajakin foto-foto gitu. Paling sekarang paling hebohnya pas lagi foto bareng sebelum bubaran pulang. Beda banget sama dulu, dikit-dikit foto.

Meski begitu dari tradisi foto bareng ini saya bersyukur banget kian hari anggota keluarga kami terus bertambah menjadi keluarga yang semakin besar. Semakin butuh tempat yang lebih luas untuk foto rame-rame. Bahkan seminggu setelah lebaran kami tambah personil, anak dari keponakan saya.

THR untuk Si Kecil

Sampai tahun ini anak saya belum mengerti apa itu THR. Kalau dikasih uang sama saudara dia langsung setor ke saya atau kadang malah cuek dilepas gitu aja. Dia belum pernah tanya uangnya sudah dapat berapa dan belum punya keinginan untuk beli apa. Alhamdulillah THR Hammam dapat lumayan, lebih banyak dari tahun lalu dan akan digunakan untuk sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat.

Sejatinya THR yang kita keluarkan untuk adik-adik kecil, keponakan dan sepupu adalah THR bagi anak kita sendiri, gengs. Selain tabungan yang memang sudah disisihkan setiap bulan kayaknya jarang banget kan kita ngasih tabungan lebih, yaaa. Dengan adanya momen lebaran kita bagi-bagi rezeki kepada orang lain, ternyata uangnya nggak akan pernah ke mana-mana. Tapi balik lagi jadi tabungan anak kita.

Baju Baru Bukan yang Terpenting

Makna lebaran bukan semata menggunakan baju baru, tapi hatinya yang harus baru. Ungkapan ini sudah lamaaaa sekali berkumandang di jagat raya menjelang Idul Fitri. Tapi tetap saja sih orang-orang pada beli baju baru, ya kaaan.

Termasuk juga saya yang sibuk menyiapkan baju baru untuk si kecil. Tapi karena tahun ini lebih selow jadi saya nggak siapin baju buat diri sendiri. Cuma mikirin baju buat anak dan suami. Eh ternyata buat suami pun nggak sempat dibikin. Hahahaha.

Baju baru buat anak saya jahitkan karena baju kokohnya sudah pada kekecilan. Kalau buat saya dan suami alhamdulillah berat badan masih stabil dan masih banyak baju yang bagus-bagus. Tanpa beli baju baru saja dalam sehari saya bisa ganti baju 3 kali, kok. LOL. Buat ke masjid, lalu ganti baju buat ke rumah mertua, ganti lagi pas kumpul-kumpul sama keluarga besar di rumah.

Saya jadi malu hati, gengs. Karena Harusnya sejak awal Ramadhan itu yang dipikirkan kualitas ibadahnya, bukan baju barunya.

Puncak is Always a Choice

Duluuu banget, gara-gara salah satu kakak saya pernah bilang “Lebaran nggak mau ke mana-mana, lah” lalu di hari lebaran kakak saya sakit. Ibu saya percaya bahwa mengatakan hal semacam itu adalah sebuah pamali. Jadi setiap kali menjelang lebaran kami seperti didoktrin untuk nggak mengucapkan kalimat itu tapi sebaliknya, katakanlah kita akan pergi jalan-jalan. Haha.Dan dari tahun ke tahun yang namanya tradisi jalan-jalan ke puncak itu kayak udah mendarah daging. Nggak pernah ada absennya.

Saya sebenarnya oke saja kalau mau jalan gitu asal pilih waktu yang tepat supaya nggak terlalu macet dan kelamaan di jalan. Tahu sendiri lah jalur puncak itu yang termacet. Dan akhirnya lebaran kali ini sudah ke puncak dan Kebun Raya Cibodas. Berangkat jam 11 siang, sampai sana sudah sore, kami makan-makan lalu pulang. Kayak orang iyes!

Bagi saya, mau jalan-jalan atau nggak itu soal planning saja. Bisa saja kan memang lagi nggak ada budget buat pergi-pergi ya masa dipaksain. Dan kalau tiba-tiba bisa berangkat ya why not?

Author

dzul_rahmat@yahoo.com
Mindful Parenting Blogger || dzul.rahmat@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *