My Generation – Film Edukasi dengan Kemasan Generasi Millennial
Setiap film memiliki perspektifnya sendiri. Baik dari sisi pembuat maupun penikmatnya, dimana sudut pandang yang didapat sering kali berbeda. Begitu pula dengan film baru My Generation karya sutradara Upi, yang akan tayang 9 November 2017 mendatang.
Jika ada satu film yang heboh diperbincangkan oleh banyak orang sejak dirilis teaser trailernya, maka itu adalah film My Generation. Mengapa film ini menjadi buah bibir di kalangan orang tua, terutama ibu-ibu? Banyak faktor. Mungkin karena posternya yang mencerminkan remaja ugal-ugalan, atau karena trailernya yang menggambarkan pergaulan bebas remaja masa kini.
Yes, melihat trailer film My Generation untuk yang pertama kali saya juga kaget. “Loh kok gini sih filmnya, bandel-bandel amat itu remajanya?” Sama deh saya dengan ibu-ibu kebanyakan. Saya khawatir kalau film ini akan memberikan dampak buruk bagi penontonnya terutama para remaja. Tahu sendiri namanya remaja, apa yang mereka pikir keren pasti diikuti walau harus melanggar norma sekalipun. Gimana sih ini sutradaranya, bikin film kok yang kayak begini?
***
But wait. Do not judge a film by its trailer only. Menurut Upi—sang sutradara, film ini adalah gambaran realita kehidupan generasi millennial. Ketika zaman berubah ditandai dengan bergesernya semua aspek kehidupan ke arah yang serba modern, maju, baru, canggih, keren, and so on. Apa yang disuguhkan oleh Upi dalam film My Generation adalah relationship antara para remaja dengan orang tua pada saat ini, sesuai dengan riset yang telah dilakukannya selama dua tahun melalui social media.
Cerita bermula ketika empat remaja tidak dapat menikmati liburan sekolah akibat sebuah video berisi pendapat negatif tentang orang tua dan guru—yang mereka buat. Dan kejadian ini justru membawa pada banyak peristiwa yang membuka mata mereka.
Empat tokoh disini adalah para remaja yang berkarakter berbeda dengan problematika masing-masing. Dikemas dalam keseharian remaja millennial, membuat film ini serasa dekat sekali realita kehidupan para kids zaman now.
Sebagai gambaran, simak dulu ya trailer film My Generation berikut ini.
Gimana? Tercengang kah? Coba simak kalimat pertama dalam trailer ini. Why parents suck? Wow. Kalimat yang belum pernah dan nggak akan terucap dari mulut saya sendiri hingga kapan pun. *anak baik-baik mode ON.
Lalu ada seorang bapak berkata : Zaman papa dulu…
Let me say, saya juga pernah berada pada masa si papa ini ketika muda, dulu. Boro-boro mau komplain soal orang tua sampai-sampai bilang ‘parents suck’. Protes uang jajan yang kurang seribu perak aja, nggak berani. Tapi ada juga teman-teman saya yang boleh dibilang ‘ngelawan’ sama orang tua.
Jadi, zaman dulu juga sudah ada tuh perbedaan antara anak baik dan anak nggak baik, anak sopan dan anak nggak sopan, anak penurut dan anak pemberontak. Dan seterusnya.
Karakter seorang anak dibentuk oleh lingkungan terutama keluarganya. Bagaimana orang tua mendidik dan memberikan contoh kepada anak, ini yang menentukan perilaku seseorang di masa yang akan datang. Jadi, jangan heran kalau ada anak yang mempertanyakan orang tuanya.
Is it too rude to question your parents about how do they commit their life? Maybe yes, maybe no. Ketika orang tua menginginkan anak melakukan yang terbaik, apakah mereka juga telah melakukan hal yang sama pada anak-anak atau setidaknya pada dirinya sendiri? Ketika moralitas orang tua menjadi pertanyaan besar bagi anak-anak, lalu masih bisakah mereka menjadi role model bagi anak-anak?
Hal inilah yang dicemaskan dan menjadi pertanyaan di kalangan remaja zaman sekarang, sebagai generasi yang lebih berani menyuarakan isi hatinya. Mengapa mereka selalu dituntut ini dan itu oleh orang tuanya, sementara orang tua sendiri tidak bisa memberikan contoh yang nyata sebagai teladan. Sedangkan jika anak mengkritik langsung dianggap membangkang, melawan orang tua.
Dipikir-pikir, iya juga ya…
Dengan ditayangkannya film My Generation di bioskop nanti, diharapkan dapat menjadi jalan bagi orang tua untuk introspeksi diri dalam menghadapi anak remajanya yang kadang sulit ditebak maunya apa.
Film ini dibintangi oleh empat remaja kekinian, pemain baru dan belum punya pengalaman akting sama sekali. Berikut adalah karakter yang akan kita temui dalam film My Generation.
Orly (diperankan oleh Alexandra Kosasie)
Perempuan yang kritis, pintar dan berprinsip. Ia sedang dalam masa pemberontakan akan kesetaraan gender dan hal-hal lain yang ‘melabeli kaum perempuan’. Masalah utama Orly adalah perilaku ibunya, seorang single parent yang sedang menjalani hubungan dengan pria yang berusia lebih muda.
Suki (diperankan oleh Lutesha)
As the coolest in the gank. Tapi memiliki masalah kepercayaan diri yang amat besar karena orang tuanya yang selalu berpikiran negatif kepadanya.
Zeke (diperankan oleh Bryan Langelo)
Adalah pemuda rebellious atau pemberontak, tetapi uniknya ia sangat easy going dan loyal kepada sahabatnya. Zeke memendam luka yang dalam di hatinya, karena orang tuanya tidak menginginkan keberadaannya.
Konji (diperankan oleh Arya Vasco)
Pemuda yang polos dan naif. Karena orang tuanya yang sangat overprotective menjadikan dirinya mengalami dilema besar dengan masa pubertasnya. Merasa tertekan dan dikekang tidaklah cukup ketika ia menemui peristiwa yang menghapus rasa kepercayaannya pada orang tua.
Adi Sumarjono selaku produser IFI Sinema meyakini bahwa keberanian untuk menonjolkan para pemain baru dapat meregenerasi pemain film sehingga didapatkan kualitas pemain muda dengan kemampuan akting yang tidak kalah bagusnya.
Selain empat pemuda ini, film My Generation turut didukung oleh para pemain film senior, seperti Tyo Pakusadewo, Surya Saputra, Ira Wibowo, Indah Kalalo, Karina Suwandhi dan Aida Nurmala. Yang mengejutkan, seorang sutradara Joko Anwar turut berpartisipasi menjadi salah satu tokoh karena penilaiannya yang sangat optimis terhadap film ini.
Pada konferensi pers yang dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober yang lalu, setiap pemeran pendukung yaitu para artis senior memberikan testimoninya terhadap film ini. Bahwa My Generation adalah film yang wajib ditonton oleh setiap kalangan remaja dan orang tua. Film yang mengangkat tema remaja ini tak lain adalah sebuah film edukasi.
Kalau kita kembali ke paragraf awal tadi, dimana banyak orang resah dengan hadirnya film ini, well, menurut saya profesi sebagai sutradara memiliki misi tersendiri dalam kehidupan ini. Dan itu pasti bukanlah untuk menghancurkan sebuah generasi. Lagipula, sebuah film sebelum bisa tayang di bioskop akan melewati proses yang amat panjang dan terakhir harus masuk ke meja lembaga sensor. Kalau dari lembaga sensor sudah meloloskan, ya buat apa kita khawatir?
Saya sih penasaran dengan solusi yang ditawarkan pada bagian akhir dari film ini. Makanya, 9 November nanti mau nonton nih. What about you??
Comments
sekarang beda dengan zaman dulu, film yang di tayangkan menyampaikan pesan yang secara tidak langsung kepada penonton tetapi pesan yang mendidik dan positif tidak seperti sekarang, yang di tayangkan film remaja dengan pergaulan yang terlalu bebas dan memberikan dampak negatif kepada remaja yang menonton