Ketika Kebutuhan Pokok Menjadi yang Kedua
Pandemi sih pandemi, tapi merokok jalan terus! Yes, kebiasaan merokok adalah sesuatu yang nggak bisa diubah dengan mudah meski terjadi pandemi penyakit sekalipun. Kenyataan bahwa perokok aktif memiliki risiko lebih besar jika terpapar virus Covid-19, nggak cukup menggoyahkan hati mereka dan meninggalkan rokok. Nggak hanya zat nikotin yang membahayakan kesehatan, tetapi kebutuhan pokok pun dinomorduakan.
Mengapa di Indonesia rokok terlihat sebagai kebutuhan yang normal? Sampai-sampai kata “uang rokok” sering kali menjadi pengganti istilah uang tips atau uang lelah bagi seseorang yang melakukan suatu pekerjaan. Karena rokok sangat mudah didapat. Saking mudahnya, anak kecil yang disuruh orang tuanya ke warung untuk beli rokok pun tetap dilayani oleh penjual.
Rokok juga dijual dengan harga yang sangat murah, per batangnya setara dengan harga segelas air mineral, gengs! Ini kan menjadi sesuatu yang kelihatannya biasa bagi orang kita. Kecuali sebatang rokok itu dijual seharga sekarung beras, barulah kita akan heran dan bilang, “Mending dibeliin emas!”
Oh ya bicara soal beras, kebutuhan pokok yang satu ini selama pandemi mengalami peningkatan sebesar lima persen menurut Badan Pusat Statistik. Mungkin karena harus di rumah saja selama masa PSBB kemarin itu, ya, jadi angkanya meningkat. Di masa ini pengeluaran untuk rokok pun ikut meningkat. Surprisingly, jumlah peningkatannya lebih besar dibandingkan kebutuhan akan beras, yaitu sebesar enam persen secara rata-rata nasional. Wow, fantastic!
Sementara itu pandemi ini juga menjadikan jumlah perokok di Indonesia meningkat sebesar tiga belas persen, menurut Komnas Pengendalian Tembakau. Wah waaah, sudah terbayang belum, nih, nasibnya istri-istri dari suami perokok yang harus menghadapi pengeluaran besar-besaran??
Rokok dan Lingkungan yang Saling Mempengaruhi
Did you know? Orang yang merokok nggak akan tumbuh uban di kepalanya. Karena sebelum itu terjadi, mereka sudah meninggal dunia. Kalimat itu saya dapatkan dari seseorang yang saya kenal dan dia perokok berat. Padahal dirinya sadar bahwa rokok bisa membuat manusia nggak panjang umur, tapi dia tetap melakukannya lagi, lagi dan lagi. Seolah sudah pasrah dengan hidupnya atau memang sesulit itu untuk berhenti.
Pada situasi lainnya, berulang kali seorang istri meminta suaminya untuk berhenti merokok. Ya demi kesehatan, demi menghemat pengeluaran juga. Waktu pacaran bilangnya “Nanti kalau kita sudah menikah, aku akan berhenti.” Merasa waktunya belum tepat, suami minta kelonggaran waktu sampai istrinya hamil. Masih belum berhenti juga, suami pun berjanji akan benar-benar berhenti kalau anaknya sudah lahir. Janji-janji palsu pun terus terucap manis sampai anak kedua dan ketiga. Sebuah cerita klise di kalangan perokok, di mana rokok menjadi sesuatu yang lebih penting dari harapan istri tercintanya.
Dalam hal ini lingkungan memiliki andil besar menggagalkan usaha seseorang untuk berhenti merokok, bahkan bisa menciptakan para perokok baru yang tiga belas persen itu. Dari 10 laki-laki di Indonesia, 7 orang diantaranya adalah perokok. Mereka yang nggak merokok merupakan minoritas di negeri ini. Dalam setiap pergaulan pasti ada yang merokok di sana. Acara nongkrong dan ngobrol akan makin asyik dilakukan sambil merokok, katanya. Entahlah, mungkin kepulan asap yang mengandung racun itu memang sebegitu nikmatnya.
Jadi kesadaran dan tekad saja belum cukup. Lingkungan sekitar juga harus mendukung. Janganlah kalian menertawakan niat baik teman yang ingin berhenti merokok. Kalau belum bisa membuat diri sendiri berhenti merokok, setidaknya biarkan orang lain menjalankan misinya dengan baik.
Mari Kita Belajar dari Kampung Bebas Asap Rokok
Talk Show Ruang Publik KBR minggu ini menghadirkan tema “Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok”. Narasumbernya adalah Nurul Nadia Luntungan selaku peneliti CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) dan M. Nur Kasim sebagai Ketua RT 001 Rw 03 Kampung Bebas Asap Rokok dan Covid-19. Topiknya menarik banget, gengs, karena menghubungkan antara kebutuhan pokok yang kian meningkat selama pandemi, sementara kebutuhan rokok pun nggak pernah berhenti. Cocok banget lah sama keresahan para ibu-ibu.
Di sebuah lingkungan yang bebas asap rokok ternyata masyarakat bisa termotivasi untuk mulai mengurangi merokok, lho. Di RT 001 RW 03 Cililitan Jakarta Timur, ada sebuah Kampung Bebas Asap Rokok dan Covid-19 yang menerapkan peraturan larangan merokok di dalam rumah. Sejak diresmikan pada tanggal 18 Juli 2020 yang lalu, masyarakat perlahan-lahan mulai mengurangi kebiasaan merokok mereka.
Awalnya Kampung Bebas Asap Rokok yang berada di kelurahan Kebon Pala ini merupakan kawasan yang cukup kumuh dan kurang tertata. Kemudian LSM Fakta mengajak masyarakat untuk membangun kampung ini menjadi Kampung Warna-warni. Setelah berhasil dengan project tersebut akhirnya LSM Fakta menawarkan kembali untuk menjadikan Kampung Warna-warni sebagai Kampung Bebas Asap Rokok.
Akhirnya diutus dua orang kader dari ibu-ibu PKK untuk mengikuti pelatihan tentang Kampung Bebas Asap Rokok di Solo pada tanggal 26-31 Juli 2019 dan kembali ke Jakarta untuk implementasi program. Dimulai dari survey terhadap masyarakat dan akhirnya diresmikan. Masyarakat terutama para wanita sangat menyambut baik program ini.
Menurut Pak Nur, selain mengurangi polusi udara dan hidup lebih sehat, ada dampak secara psikologi yang dialami oleh para ibu di lingkungan tersebut. Karena pengeluaran rokok mulai berkurang akhirnya uang belanja para istri mengalami peningkatan. Wah, alhamdulillah!! Dengan uang belanja yang cukup, ibu-ibu pun merasa lebih bahagia dan tentunya jadi bisa memasak makanan yang lebih bergizi untuk keluarganya.
Di masa pandemi seperti ini rasa bahagia juga merupakan hal yang penting banget. Karena perasaan bahagia dapat menjadikan imun tubuh lebih aktif bekerja dan mengoptimalkan kinerja otak. Coba bayangkan, bagaimana ibu yang merasa nggak bahagia harus mengurus keluarga, uang belanja yang pas-pasan cenderung kurang, ditambah bau asap rokok membombardir di setiap sudut rumah. Tentu lebih baik pilihan yang pertama, kan?
Hidup dengan rokok atau hidup dengan pola yang sehat sama-sama memiliki dampak yang nggak instan. Dampak buruk dari rokok bisa dirasakan bertahun-tahun kemudian, begitu juga dengan gaya hidup sehat yang manfaatnya nggak bisa dirasakan secara langsung. Yang harus diingat adalah rokok dapat membawa bencana entah kapan hal itu akan datang. Sedangkan hidup tanpa rokok bisa menjadikan kita lebih sehat, nggak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Apa yang bisa kita lakukan dengan tubuh yang sehat? Banyak! Kita bisa melakukan hal-hal yang kita inginkan, melihat anak cucu tumbuh sehat dan meraih cita-citanya. Semua dapat berawal dari pemenuhan gizi yang baik, dengan uang belanja yang cukup.
Seandainya, ya, ada lebih banyak lagi kampung bebas asap rokok seperti di RT 01 RW 03 Cililitan ini.
Sejahterakan Diri dengan Kebutuhan Pokok
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan angka pengangguran tahun 2020 bertambah 4-5 juta orang sehingga totalnya akan menjadi 11 juta orang pengangguran di tahun 2020. Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah dan tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Sementara itu masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhan pokok yang terdiri dari makanan, pendidikan dan kesehatan. Dengan menambahkan rokok sebagai kebutuhan tambahan pastinya harus ada yang dikorbankan. Let’s say pendidikan menjadi yang nomor satu dan nggak bisa diganggu gugat, berarti seseorang harus merelakan jatah makan atau bahkan kesehatannya demi kenikmatan merokok.
Yang mirisnya lagi, nih, delapan puluh persen perokok dunia berada di negara-negara dengan pendapatan rendah sampai menengah. Di Indonesia sendiri mayoritas perokok berasal dari kalangan menengah ke bawah. Huhu, bagaimana lah ini. Kita menginginkan hidup yang sejahtera tetapi rokok masih menjadi bayang-bayang mengerikan.
Pada acara Talk Show Ruang Publik KBR ini Nurul Nadia Luntungan membagikan pengalamannya saat bekerja di Pukesmas di sebuah desa yang jaraknya 6 jam dari Makassar, Sulawesi Selatan. Saat itu sedang dijalankan campaign Desa Tanpa Asap Rokok dan ada sekitar 9 orang yang dibantu untuk berhenti merokok dengan terapi kelompok. Setiap orang mengalami gejala yang berbeda, seperti sering bengong, selalu tertawa atau selalu merasa mengantuk. “Ini adalah gejala-gejala yang muncul saat seseorang lepas dari substansi nikotin”, kata Nurul.
Dan bukan perjalanan yang mudah untuk membantu orang-orang ini keluar dari zona nyamannya bersama rokok. Apalagi godaan besar dari lingkungan sekitar juga dapat mempengaruhi niat si perokok yang ingin berhenti. “Di Indonesia untuk berhenti merokok itu ibaratnya kita mau diet di hari lebaran, saat makanan lagi banyak-banyaknya.” Lanjut Nurul.
See? Berhenti merokok adalah perjuangan yang nggak main-main. Jadi jangan pernah mencobanya ya, gengs. Sayangi diri kalian, keluarga dan orang-orang sekitar. Nggak mungkin ada orang yang ingin merokok dengan niat untuk menyakiti orang-orang tersayangnya. Tapi mau nggak mau, keluarga akan menanggung derita juga kalau di rumah masih ada yang merokok.
Berhubung pandemi ini belum berlalu dan entah sampai kapan juga, mungkin ada baiknya kita fokus pada kemampuan diri untuk tetap bisa menghasilkan sesuatu. Dengan begitu kebutuhan pokok akan tetap terpenuhi, keluarga sehat dan bahagia. Nggak ada salahnya untuk mencoba berhenti merokok demi masa depan anak-anak kita. Tentu kita nggak mau, kan, generasi mendatang menjadi generasi yang sama bau asapnya dengan generasi sekarang?
Semoga kalian sehat selalu dan bersih dari zat nikotin yang berbahaya itu. Terima kasih ya sudah membaca tulisan ini. See you next post!
Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Kamu juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, silakan lihat di sini.