fbpx
look at the bright side
Health

Look at the Bright Side

Masa SMA adalah masa-masanya remaja menemukan jati diri dan teman sejati. Eeaaaa… Siapa pun pasti akan melewati fase ini, termasuk saya. Ketika itu saya baru naik kelas 2 SMK dengan kenyataan bahwa teman sebangku di kelas 1 mengambil jurusan yang berbeda. It’s okay. Masih banyak teman lain yang bisa diajak duduk bareng.

Di kelas yang baru ini ada satu siswi yang astagfirullah berisik banget. Gengges abis pokoknya. Mending, ya, kalau ngobrolnya dengan suara pelan antar teman sebangku. Ini mah nggak, suaranya kenceng banget sampai menembus batas kesabaran. Tiap hari kayaknya mau nangis kalau dia sudah mulai bersuara. Apa nggak bisa itu volume suaranya dipelanin dikit, nggak ada belas kasihnya banget sama telinga orang lain. 

Tapi…

Suara dia bagus kalau nyanyi. Beneran, gengs! Mana nyanyinya lagu-lagu Bollywood dan dia bisa niruin suara penyanyi perempuan India yang melengking gitu, lho.

Times went by, akhirnya kami bisa berteman juga gara-gara saya sering ngetawain tingkah lakunya. Ternyata setiap yang dia ucapkan itu bisa menjadi lucu bagi saya. Pertemanan ini pun berlangsung bukan sebatas teman sekelas biasa. Kami malah pergi liburan bareng, saling mengunjungi rumah dan ngerumpi di kamar. Sampai sekarang kami masih stay in touchkadang ngebahas “Gila ih dulu lu nyebelin banget di kelas.” Hahaha.

Saya akui memang saya terlalu terburu-buru menilai orang lain. Hanya karena seseorang menunjukkan first impression yang kurang berkenan di hati, saya langsung nggak suka sama dia. Nggak sukanya itu hampir mendekati level benci malah. Huhu. Tapi bersyukur bahwa dulu nggak berlarut-larut dalam rasa benci yang mendalam karena saya melihat ada sisi positif dalam dirinya.

I’m not a perfect person, tapi saya ingin memiliki hubungan yang baik dengan teman-teman saya. Ada satu kejadian lagi yang menjadi pelajaran berarti soal pertemanan. Saat itu saya dan seorang teman sama-sama anak baru di sebuah perusahaan. She’s my only friend yang saya kira hubungan kami akan selalu baik. Secara, ya, awalnya dia baik dan kami berdua seperti berjuang bersama dalam menaklukkan sebuah project penting. Saya sempat berharap kami bisa menemukan chemistry dari project tersebut.

Nggak tahunya dia nggak seperti yang saya duga. Perilakunya yang gampang marah, suka menyalahkan orang lain dan selalu nge-gas, membuat saya cukup stress berada di kantor. Kami sering sekali terlibat adu mulut dan berakhir dengan gencatan senjata. Rasanya pengin kabur, tapi resign bukanlah pilihan yang bijak bagi saya. Beruntung waktu itu banyak karyawan yang kasih support buat saya, gara-gara mereka juga sering diomelin sama satu orang ini.

Sampai akhirnya kami berdua dipanggil sama HRD untuk meluruskan masalah. Nggak lama setelah itu dia resign duluan, mungkin nggak sampai setahun kami kerja bareng. Sementara saya sendiri masih bertahan di sana sampai enam tahun berikutnya.

Awalnya saya merasa nggak enak, rasanya seperti gara-gara saya dia jadi resign. Tapi di saat yang bersamaan saya juga lega karena tiap hari ketemu dia tuh kayak menimbulkan penyakit hati.

Sejak itu saya lebih berhati-hati dalam memilih teman. Jadi kalau baru kenal tuh nggak langsung nge-jugde habis-habisan, nggak juga langsung dekeeet banget kayak ada perekatnya. Jika diibaratkan bagai berada di dua tempat berbeda tetapi ada jembatan penghubungnya. Nggak terlalu dekat, tapi juga nggak jauh, yang mana kalau ingin terhubung bisa langsung melewati jembatan tersebut. Terus seperti itu sampai benar-benar mengenal satu sama lain, hingga bisa menjadi teman dekat atau bersahabat.

Look at the bright side. Teman-teman saya juga bukan manusia sempurna dan setiap orang pasti memiliki sisi gelapnya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana kita membawa diri dan ingin menonjolkan sisi yang mana. Seiring waktu berjalan dan bertemu dengan banyak teman, pasti ada saja satu dua orang yang perilakunya nggak bisa saya terima.

Tapi alhamdulillah so far jauh lebih banyak teman-teman baik, kok. Kalau sampai menemukan teman dengan karakter seperti cerita saya yang kedua di atas, ya sudah, dia bukan orang yang penting dalam hidup saya.

Author

dzul_rahmat@yahoo.com
Mindful Parenting Blogger || dzul.rahmat@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *