Mindful Moments, Not Just Memories
Seperti tahun-tahun sebelumnya, di tahun ini sekolah anakku kembali menyelenggarakan Class Performance Day. Aku pernah tulis cerita pertunjukkan pertama anakku di atas panggung waktu dia duduk di kelas 2. So, penampilan sekarang adalah yang ketiga baginya. Pertama kali, anakku dan teman-teman menampilkan Shalawat. Di tahun kedua, pertunjukannya adalah paduan suara. Dan di tahun ketiga ini ia kembali membawakan shalawat.
Hari pertunjukan tiba, aku mempersiapkan segalanya. Mulai dari kostum anak dan kostumku sendiri. Smartphone sudah fullcharge, storage juga lumayan untuk simpan foto dan video. Karena 2 tahun kemarin kami nggak ada dokumentasi yang proper, aku kepikiran untuk bawa kamera DSLR. Entah kameranya bakalan terpakai atau nggak, yang penting aku bawa dulu aja. Kalau ada kesempatannya, pasti lumayan banget bisa dapat foto yang bagus, pikirku.
Tiba waktunya anakku tampil. Ia berdiri di paling depan, dengan cute-nya naik ke atas panggung, diikuti teman-temannya. Saat di atas panggung, ia berdiri di barisan kedua atau barisan belakang. Tanganku langsung sigap jepret sana sini, demi mendapatkan gambar yang bagus. Foto yang mungkin akan dijadikan kenangan sama anakku.
Puluhan foto aku dapatkan hanya dalam beberapa menit yang berharga itu. Selesai pertunjukan, anakku turun dari panggung dan aku mulai melihat-lihat kembali foto-foto tadi. Aku puas sekali. Sesekali aku tunjukkan ke suamiku. Meskipun nggak semua hasilnya bagus, tapi ada lah beberapa foto yang proper. Yes, aku berhasil, pikirku.
Beberapa menit kemudian, anakku datang menghapiriku. Aku peluk dan cium pipinya, kuberikan selamat. Alhamdulillah sudah selesai pertunjukannya, perjuangan beberapa bulan latihan, berakhir dengan baik. Kamu keren, mami bangga padamu, dan seterusnya.
Semua kelihatan normal dan berjalan lancar, sampai beberapa hari kemudian anakku mengungkapkan perasaannya. Saat kami membahas kembali pertunjukan kemarin, anakku bilang, “Tapi, Mami kok beda, sih?” Aku bingung, dong. “Beda? Beda kenapa?” tanyaku. “Ya, Mami beda aja. Nggak kayak dulu, nggak seperti waktu aku kelas 3,” ucapnya dengan raut sedih.
Deg! Aku kenapaaa? Apa yang telah kulakukan??
“Mami nggak excited seperti dulu.”
Oh! Benarkah?
Tahun-tahun sebelumnya aku memang sangat emosional. Melihat anakku yang introvert, bisa tampil dengan baik di atas panggung, membuat air mataku keluar begitu saja. Tahun lalu aku bahkan pindah tempat duduk, agar bisa melihat anakku dari jarak yang lebih dekat. Tak dapat kulupakan ekspresinya yang sangat senang, ketika ia menemukan aku di barisan kedua dari depan. Aku setengah mengangkat kedua tanganku dan menggerakannya ke kanan-kiri, sambil ikut bernyanyi, persis seperti orang nonton konser. Aku mengacungkan ibu jariku, tanda aku bangga sekali padanya. Dan aku bertepuk tangan kencang sekali.
Mungkin itulah momen yang paling diingat anakku saat pentas seni. Mungkin ia mengharapkan emosi yang sama. Dan kenyataan aku nggak menunjukkan emosi sesuai ekspektasinya, malah sibuk foto-foto, membuatnya kecewa dan mungkin terluka. Uh, aku menyesal sekali.
Agar ia tak terlalu kecewa, aku peluk anakku sambil meminta maaf. “Maafin Mami, ya. Mami excited kok waktu kamu di atas panggung. Tapi mungkin mami nggak se-cengeng dulu lagi. Mami sudah bisa kontrol emosi Mami, jadi sudah nggak nangis lagi. Aslinya Mami terharu banget. Dan Mami bangga sekali sama kamu.”
Dari kejadian ini aku belajar, bahwa yang terpenting adalah mindful moments. Anak nggak butuh dokumentasi yang gimana-gimana. Yang anak butuh hanyalah kehadiran dan dukungan penuh dari orang tua. Dia cuma mau Mami Papi datang, menonton dengan penuh perhatian, menikmati setiap momen, memberikan semangat dan tepuk tangan yang paling meriah.
Aku jadi berpikir, selama ini kalau kami sedang pergi, lalu foto-foto dan anakku keseringan nggak mau ikut foto, mungkin selain lelah dia juga nggak mau banyak terdistraksi sama kegiatan dokumentasi ini. Mungkin ia lebih suka merekam semua momen tersebut dalam ingatannya saja. Dan aku menghargai itu.
Terima kasih, anakku.