Liburan Edukasi Anak: Nostalgia Dua Generasi dalam Petualangan Klasik Kota Tua Jakarta
Sebenarnya cerita ini sudah lama sekali, tahun 2024 ketika anakku berulang tahun yang ke-10. Destinasi yang kami pilih untuk birthday trip kali ini adalah sebuah tempat yang sebenarnya nggak terlalu jauh, masih di Jakarta, tapi untuk menuju ke sana butuh mesin waktu. Karena kami akan ke masa lalu, haha! Bisa dibilang trip kali ini dalam rangka nostalgia untuk diriku sendiri dan membuat kenangan baru untuk anakku, yang akan menjadi nostalgianya di masa mendatang. Inilah petualangan klasik Kota Tua Jakarta persembahan dari kami berdua :)
Aku sendiri jarang banget ke Kota Tua. Masa-masa baru lulus kuliah dulu aku dan teman-teman pernah ke Museum Bank Indonesia, karena salah satu temanku bekerja di sana. Kemudian sempat ke Kota Tua lagi kayaknya sekitar tahun 2018 atau 2019, waktu itu pertama kalinya aku benar-benar mengikuti wisata sejarah Jakarta bersama tour guide. Dan ternyata seru!! Kamu bisa baca tulisanku yang ini, ya: Pesona Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sempat ragu untuk mengunjungi Kota Tua Jakarta sama anak, karena dalam bayanganku lokasinya tuh panas, jarang ada pohon, dan nanti bisa ngapain aja, ya, sama anak? Tapi kalau ingat anakku suka sekali dengan bangunan klasik, aku jadi punya harapan kalau dia bisa enjoy the trip. Seperti biasa, moda transportasi yang kami pilih adalah TransJakarta, karena aksesnya yang sangat mudah. Dari Ciledug kami naik bus 13B jurusan Pancoran dan turun di CSW untuk transit. Dilanjutkan naik bus nomor 1A jurusan Kota, turun di halte Kali Besar yang ada di dekat bangunan Toko Merah. Di sini kami foto-foto dan istirahat sebentar sambil ngemil roti bakar yang kami bawa dari rumah.


Setelah puas ambil foto di sekitar Kali Besar, kami menuju kawasan Kota Tua yang sebenarnya nggak terlalu jauh kalau mau jalan kaki. Tapi anakku nggak mau jalan, katanya capek. Haha. Jadi kami naik bus 1 halte lagi dan turun di halte terdekat dengan Kota Tua. Kalau dulu mungkin bisa turun di halte Kota, ya. Tapi sekarang ada satu halte sebelumnya yang lebih dekat dengan pintu masuk Kota Tua, kalau nggak salah namanya halte Museum Sejarah Jakarta or something.
Kegiatan yang kami lakukan di Kota Tua Jakarta adalah makan siang, bersepeda dan mengunjungi 2 museum. Aku akan ceritain satu per satu, ya, dengan lebih detail beserta biaya atau harga tiketnya.
Makan Siang di Bawah Pohon Rindang Kota Tua Jakarta
Kami memasuki kawasan Kota Tua pada jam 11 siang. Terlihat beberapa bangunan klasik berdinding warna putih, yang kebanyakan adalah museum. Kami sempat foto-foto di beberapa titik yang sekiranya estetik.

Matahari cukup terik, tapi kondisinya terbantu oleh angin yang cukup bikin adem. Apalagi saat kami berada di bawah pohon, yang mungkin satu-satunya pohon besar di sana. Banyak pengunjung yang duduk-duduk di bawah pohon tersebut. Ada yang ngobrol, tapi kebanyakan sedang makan. Aku dan anakku pun merasakan lapar, meski 15 menit yang lalu kami baru aja ngemil roti bakar. Akhirnya kami pun ikutan duduk di bawah pohon dan membuka kotak bekal. Hari itu aku membawa ayam goreng dan sambal goreng ati ayam. Hehe. Dengan nasi putih secukupnya, kami makan dengan lahap. Alhamdulillah, nikmat banget.

Sewa Sepeda Ontel di Kota Tua Jakarta
Setelah menuntaskan rasa lapar, “Kita mau ngapain lagi, nih?” tanyaku. Terus anakku minta naik sepeda ontel Kota Tua yang legendaris itu. Lagi-lagi karena sepedanya klasik, anakku tertarik ingin mencoba sepeda yang disewakan di sepanjang sisi kanan lapangan depan Museum Sejarah Jakarta. Tadinya kami mau sewa seorang satu sepeda. Tapi ternyata sepedanya cukup berat dan masih terlalu tinggi untuk anakku. Akhirnya kami hanya sewa satu sepeda dan anakku duduk di boncengan.
Ini pengalaman yang lucu banget, sih. Bikin kami tertawa terus sepanjang bersepeda. Karena aku nggak familiar dengan sepeda model ontel, benar-benar baru pertama kali pakai dan rasanya sungguh kikuk. Haha. Bahkan untukku sepeda ini masih terlalu berat. Jadi aku kayak sering banget ngerem, berhenti untuk benerin posisi dan lain-lain.

Harga sewa sepeda ontel di Kota Tua Jakarta adalah Rp25.000 untuk 30 menit, boleh pilih sepeda serta atributnya. Aku pilih sepeda warna ungu roda putih, atributnya pakai topi lebar dan anakku pakai topi a la Cowboy. Lumayan sih bisa bantu menghalau sinar matahari yang semakin benderang. Oh ya, penyewaan sepeda ini sekarang sudah bisa cashless pembayarannya. Jadi pemilik sepedanya punya QR code yang bisa kita scan untuk pembayaran dengan QRIS. Alhamdulillah, nggak khawatir lagi kalau nggak banyak bawa cash.
Selain berkeliling lapangan, kami juga bersepeda ke arah stasiun Jakarta Kota. Anakku si pecinta Kereta Api tentu saja nggak bisa berhenti senym. “Nanti kita ke situ, ya!” katanya.
Masuk Museum Sejarah Jakarta
Setelah puas bersepeda, saatnya ngadem di dalam museum. Museum utama yang ada di Kota Tua adalah Museum Sejarah Jakarta, yang dulu kita kenal sebagai Museum Fatahillah. Ini pertama kalinya untukku masuk ke museum tersebut. Malah aku baru tahu, kalau pintu besar yang ada di depan gedung ini tuh sebenarnya bukan bagian depannya. Haha, kemana saja aku. Jadi kalau mau masuk museum, silakan ke bagian ‘depan’ yang satunya lagi. Di sana ada loket pembelian tiket. Jujur aku lupa banget harga tiketnya berapa, kalau nggak salah Rp20.000 deh untuk berdua.

Sesuai namanya, museum ini menawarkan perjalanan kota Jakarta dari masa kolonial. Bangunannya sendiri adalah bekas Balai Kota Batavia zaman Belanda yang dibangun pada tahun 1707 dan diresmikan pada 1710 oleh Gubernur Jenderal Joan van Hoorn. Ada sebuah foto yang diambil pada masa itu, ternyata memang dari dulu ada pohon di depan gedung. Di lokasi yang sama dengan tempat aku makan siang tadi. Entah itu pohon yang sama atau berbeda, tapi kalau dilihat batang pohonnya sih kaya udah tua gitu.
Sebelum masuk, ada staf yang menawarkan diri untuk menjadi pemandu wisata. Sampai sekarang aku masih penasaran apakah mereka adalah anak magang atau volunteer? Soalnya masih muda-muda banget kayak anak SMA. Atau sebenarnya bagian dari guide and ticketing Museum Sejarah Jakarta. Menyesal kenapa dulu nggak nanya. HAHA! Well, aku sebenarnya mau pakai guide. Tapi anakku nggak mau. Dia maunya bebas aja ke mana-mana berdua sama aku.

Vibes di museum ini masih terasa seperti zaman dulu, tentunya ada beberapa bagian yang sepertinya sudah mengalami renovasi. Pintu-pintu yang melengkung di bagian atas menjadi ciri khas dari bangunan tempo dulu. Kalau kata anakku, pintunya berbentuk huruf N kecil. LOL. Gedungnya kan dari luar tuh besar banget, ya. Ternyata dalamnya? Terasa lebih luas. Banyak banget pintu dan ruangan, bahkan ada ruangan di dalam ruangan lagi. Capek banget menjelajahinya, tolooong!


Fitur dari Museum ini ada perjalanan sejarah Jakarta yang bisa dilihat melalui foto atau sketsa, tersedia ruangan dengan teknologi digital yang memamerkan sejarah Jakarta melalui video atau games di komputer. Tentunya ada barang-barang bernilai sejarah, mulai dari timbangan sampai alat cetak genting. Bahkan ada tempat tembakau dan kapur sirih, berupa wadah yang terbuat dari apa, ya, mungkin tembaga. Benda ini mengingatkanku pada wadah tembakau-sirih milik nenekku, yang suka aku mainkan sewaktu aku kecil dulu bersama sepupu-sepupuku.

Setelah kelelahan menjelajahi satu gedung yang luasnya sekitar 1.300 meter persegi ini, kami istirahat dan sholat zuhur. Lumayan refresh, deh. Sebelum lanjut ke tujuan berikutnya, anakku minta beli bubble dan main sebentar. Aku agak risih banyak orang-orang yang bawa kamera pro motret-motret di sini. Mereka sempat mengambil foto anakku, jadi kami nggak bisa lama-lama.

Museum Bank Indonesia

Destinasi berikutnya adalah Museum Bank Indonesia. Sebenarnya mau ke Stasiun Jakarta Kota, tapi karena dekat banget dengan Museum BI, ya sudah mampir dulu, dong! Letaknya Jalan Pintu Besar Utara No. 3, masih di kawasan Kota Tua juga. Museum Bank Indonesia termasuk bangunan cagar budaya yang ditetapkan oleh Pemprov DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur No. 475 tahun 1993. Sama seperti gedung-gedung di Kota Tua lainnya, gedung ini juga merupakan bangunan zaman kolonial. Dulunya merupakan kantor De Javasche Bank milik Belanda, dibangun pada tahun 1828. Kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia pada tahun 1953.
Luas bangunan gedung ini adalah 1.000 meter persegi. Tapi nggak semua area dibuka kayaknya, deh. Tiket masuknya ya ampun cuma Rp5.000 per orang. Sebelum masuk kita harus titip tas dulu. Kalau ada barang-barang berharga yang mau dibawa, petugas menyediakan tas transparan. Tujuannya selain nggak ribet harus pegangin HP dan dompet selama tur, juga agar pengunjung nggak punya kesempatan untuk menyembunyikan barang, dalam hal ini yang berniat mau nyuri benda bersejarah, ya.
Dulu aku kira namanya museum bank isinya cuma mata uang dari masa ke masa. Ya, itu benar, sih. Tapi dilengkapi juga dengan sejarah perdagangan, perbankan, sistem pembayaran dan kebijakan moneter. Museum ini secara fungsional adalah tempat edukasi masyarakat tentang sistem transaksi. Alurnya dimulai dari pameran sistem barter, ketika zaman dahulu manusia bertransaksi dengan cara bertukar barang. Dipamerkan juga peralatan elektronik dan alat komunikasi yang digunakan untuk perdagangan zaman dulu. Kan ada televisi kabinet gitu, ya. Aku bilang dulu di rumahku ada TV model itu. Terus anakku bilang, “Yey, TV dari masa lalu mami.” Haha lucu banget.
Terpampang juga sejarah krisis moneter tahun 1997-1998 yang mana saat itu nilai rupiah terjun bebas. Bagian ini harus banget sih anakku tahu, karena pada saat itu aku sudah lahir. Pada masa itu aku nggak ngerti apa yang terjadi, tapi dari museum ini aku tahu, kejadiannya adalah sebagai berikut, aku ambil dari teks yang ada di Museum BI.
Rupiah terhantam menyusul krisis nilai tukar Baht Thailand. Upaya intervensi gabungan BI bersama otoritas moneter Singapura dan Jepang tak terlalu banyak menolong kestabilan nilai Ruplah. Modal asing ditarik, spekulasi di pasar uang dan pasar valuta asing marak. Rupiah makin terpuruk setelah kerusuhan Mei 1998. Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran Rp16.500 per Dollar pada Juni 1998. Sebelum krisis satu Dollar berapa dalam kisaran Rp 2.300.
Di Museum Indonesia juga ada pameran digitalnya dengan layar di beberapa sudut. Menurutku ini bikin suasanya lebih menyenangkan, apalagi buat anak-anak yang lebih familiar dengan digital daripada benda-benda kuno. Beda ya sama kita yang lebih suka melihat bentuk benda antik. Walau sebenarnya museum ini bukan yang kuno banget, justru lebih modern dibandingkan ketika aku datang pertama kali dulu itu.
Yang paling favorit buat kami adalah ruangan mata uang. Di sini ada mata uang dari seluruh dunia, namanya Ruang Numismatik. Jadi setiap negara punya etalase sendiri-sendiri. Etalasenya ada yang besar, ada yang kecil tipis dan bisa ditarik gitu, kayak storage di samping kulkas yang suka aku lihat di Instagram. Hehe. Konsep ini memang bikin hemat ruang, sih. Etalasenya banyak banget, aku nggak sempat membukanya satu per satu. Dan nggak ada dokumentasi juga, karena ruangan ini cahayanya sangat redup. Dan mungkin juga nggak boleh foto-foto ya di sini, aku agak lupa.
Stasiun Jakarta Kota
Stasiun Jakarta Kota adalah puncak wisata kali ini. Anakku si pecinta kereta api harus banget, sih, ke stasiun. Apalagi di Stasiun Jakarta Kota ada kereta api jarak jauh, bukan cuma KRL. Lokasinya yang berada tepat di depan Kota Tua, menjadikan stasiun ini bagaikan gerbang wisata sejarah. Kalau naik KRL ke stasiun ini, berasa seperti melintasi lorong waktu. Karena tahu-tahu sudah di masa lalu. Hehe.

Dulu namanya bukan Stasiun Jakarta Kota, melainkan Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (Beos). Dibangun sekitar tahun 1870, masih versi bangunan lama. Kalau yang versi baru atau arsitektur yang kita kenal sekarang itu mulai dibangun kembali entah tahun berapa, tapi selesainya di tahun 1929 dan resmi digunakan sebagai Stasiun Jakarta Kota sejak 8 Oktober 1929. Stasiun ini juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya, jadi arsitekturnya tetap dipertahankan oleh KAI untuk menjaga nilai sejarah.
Di Stasiun Jakarta Kota cukup banyak tempat untuk duduk. Kami lanjutin lagi tuh makan roti bakar yang tadi belum habis. LOL. Sambil nunggu, siapa tahu ada kereta jarak jauh yang datang sebelum kami naik KRL untuk pulang. Dan beruntungnya ada lokomotif seri CC206 yang datang. Aku ajak anakku mendekat dan dia grogi. Aahhh, senang sekali aku lihat ekspresi bahagianya.

Setelah puas berdekatan dengan lokomotif yang sering banget dibicarakan itu, akhirnya tiba waktunya untuk pulang. Kami menuju peron tempat KRL Bogor Line berada. Setelah melewati beberapa stasiun, kami turun di stasiun Juanda karena janjian dengan suamiku di dekat kantornya. And finally, kami bertiga menuju rumah dengan TransJakarta.
Trip ini sudah setahun lebih yang lalu. Tapi anakku masih mengingatnya dan kami selalu mengenangnya sebagai petualangan klasik yang menyenangkan. Alhamdulillah, seru sekali tripnya :)